Monday, January 9, 2012

Menentukan Kualitas Suatu Perairan Di lihat Dari Parameter-Parameter Oseanografi

please, after reading an article or would leave this page, leave a comment .>.>. . . (^_^)


            Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya.
            Kualitas air adalah suatu keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu, seperti kualitas air untuk air minum, pertanian dan perikanan, rumah sakit, industri dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan persyaratan kualitas air berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya.
Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kualitas air :
            1. Tingkat pemanfaatan dari penggunaan air
            2. Faktor kualitas alami sebelum dimanfaatkan
            3. Faktor yang menyebabkan kualitas air bervariasi
            4. Perubahan kualitas air secara alami
            5. Faktor faktor khusus yang mempengaruhi kualitas air
            6. Persyaratan kualitas air dalam penggunaan air
            7. Pengaruh perubahan dan keefektifan kriteria kualitas air
            8. Perkembangan teknologi untuk memperbaiki kualitas air
            9. Kualitas air yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
            Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter yang bersifat fisik, dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual, penciuman, peraba dan perasa. Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air dapat diketahui secara visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanyaperubahan bau pada air serta peraba pada kulit dapat membedakan suhu air, selanjutnya rasa tawar, asin dan lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah (indera perasa). Hasil indikasi dari panca indera ini hanya dapat dijadikan indikasi awal karena bersifat subyektif, bila diperlukan untuk menentukan kondisi tertentu, misal kualitas air tersebut telah menurun atau tidak harus dilakukan analisis pemeriksaan air di laboratorium dengan metode analisis yang telah ditentukan.
            Sedangkan parameter kimia yang didefinisikan sebagai sekumpulan bahan/zat kimia yang keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air. Selanjutnya secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan indikasi apakah kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang baik, hal ini dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam perairan.
            Beberapa parameter yang diukur untuk mengetahui kulitas perairan yang tidak berbahaya bagi biota yang hidup didalamnya antara lain:

  1. DO (Oksigen Terlarut)
            Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak.
            Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung. Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun, konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/L cukup memadai untuk menunjang secara normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973).
            DO-meter adalah alat yang dipakai untuk mengukur kadar kandungan gas Oksigen (O2) dalam air atau air limbah dalam satuan mg/L atau (ppm). Konsentrasi yang dapat diukur adalah 0,0 sampai 19,9 mg/L dengan tingkat kesalahan 0,1 mg/L atau sekitar ± 1,5 % dari angka yang dibaca.


  1. Salinitas
            Salinitas merupakan parameter penunjuk jumlah bahan terlarut dalam air. Zat-zat yang terlarut dalam air laut yang membentuk garam adalah :
1. Unsur utama : Khlorida (Cl), Natrium/ Sodium (Na), Oksida Sulfat (SO4) dan
                Magnesium (Mg).
2. Gas terlarut : gas Karbondioksida (CO2), gas Nitrogen (N2), gas Oksigen (O2).
3. Unsur hara : Silika (Si), Nitrogen (N), Phosphor (P).
4. Unsur runut : Besi (Fe), Mangan (Mn), Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg).
            Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Lapisan dengan salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada lapisan bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah.
            Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan dimana garam-garam akan mengendap atau terkonsentrasi. Daerah-daerah yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi. Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan dan edaran massa air.
            Salinitas disebabkan oleh tujuh ion utama yaitu natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3), sementara itu salinitas dinyatakan dalam satuan gr/l atau permil (0/00) (Effendi, 2003). Biota estuaria biasanya mempunyai toleransi terhadap variasi salinitas yang besar (eury-haline). Contohnya Chanos chanos (bandeng), Mugil (belanak) dan Tilapia (mujair). Salinitas yang tidak sesuai dapat menghambat perkembangbiakan dan pertumbuhan. Kerang hijau, kerang darah dan tiram adalah jenis-jenis kerang yang hidup di daerah estuaria. Variasi salinitas alami estuaria di Indonesia berkisar antara 15–32 psu. Hasil penelitian yang dilakukan pada kerang hijau memberikan petunjuk bahwa salinitas yang lebih rendah dari 15 psu dapat menyebabkan kematian kerang tersebut. Keberhasilan benih kerang darah untuk menempel pada kolektor tergantung pada salinitas. Pada salinitas 18 psu, keberhasilan menempel lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan dengan salinitas yang lebih rendah daripada salinitas untuk kerang hijau dan kerang darah. Kerapu dan beronang dapat hidup di daerah estuaria maupun daerah terumbu karang. Ikan kakap hidup di perairan pantai dan muara sungai. Rumput laut hidup di daerah terumbu karang. Pada umumnya salinitas alami perairan terumbu karang di Indonesia 31 psu (Romimohtarto, 1985).
            Salinity-meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kegaraman dari air atau limbah cair, dengan mengukur kandungan ion Na+ yang berada dalam larutan air/limbah tersebut. Untuk melihat kandungan NaCL dalam air tersebut, maka angka terbaca dalam layar alat harus di plot dan dibaca dari tabel/grafik yang ada.

  1. Suhu Perairan
            Suhu air normal adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat digunakan untuk menentukan kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada tempat dimana air tersebut berada. Kenaikan suhu air di badan air penerima, saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai berikut:
a)      Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun;
b)       Kecepatan reaksi kimia meningkat;
c)      Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan dan hewan air lainnya mati.
            Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997).
            Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut adalah 27 – 32 0C (Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al., 2001). Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan (Brown dan Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar antara 35 – 40 0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme yang dapat menyebabkan kematian.
            Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu berkisar antara 12,8 0C sampai 30 0C. Keadaan suhu tersebut tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara disekitarnya. 
  
  1. Ph
            pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH = 7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
            Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan. Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).
            Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan basa (7 – 9) merupakan perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno, 1974).

  1. Kecepatan Arus
            Penyebaran kualitas air di badan air penerima, baik sungai, waduk dan laut, sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus dan debit air. Semakin cepat arus dan semakin besar debit air maka penyebaran kualitas air semakin cepat dan semakin luas. Arus laut jauh lebih rumit karena adanya gaya Coriolis, yakni gaya yang diakibatkan oleh perputaran bumi dan adanya pasang surut yang dipengaruhi oleh gaya tarik bulan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
            Romimohtarto (1985) menyatakan bahwa arus mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap kehidupan biota perairan. Arus dapat mengakibatkan rusaknya jaringan-jaringan jasad hidup yang tumbuh di daerah itu dan partikelpartikel dalam suspensi dapat menghasilkan pengikisan. Di perairan dengan dasar berlumpur, arus dapat mengaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan kekeruhan air dan mematikan organisme air. Kekeruhan bisa mengurangi penetrasi sinar matahari, dan karenanya mengurangi aktivitas fotosintesa. Manfaat dari arus bagi banyak biota adalah menyangkut penambahan makanan bagi biotabiota tersebut dan pembuangan kotoran-kotorannya. Untuk algae kekurangan zatzat kimia dan CO2 dapat dipenuhi. Sedangkan bagi binatang CO2 dan produkproduk sisa dapat disingkirkan dan O2 tetap tersedia. Arus juga memainkan peranan penting bagi penyebaran plankton, baik holoplankton maupun meroplankton. Terutama bagi golongan meroplankton yang terdiri dari telur-telur dan burayak-burayak avertebrata dasar dan ikan-ikan. Mereka mempunyai kesempatan menghindari persaingan makanan dengan induk-induknya terutama yang hidup menempel seperti teritip (Belanus spp) dan kerang hijau (Mytilus viridis).

  1. Nitrogen
            Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk amonia, amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organic lainnya. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3–N) dan amonia (NH3–N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3–N dibandingkan dengan NO3–N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980). Senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1 mg/l pada suhu 25 0C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran (Alaerst dan Sartika, 1987). Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organic (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi, 2003). Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit diperairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003). Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi ammonia untuk keperluan budidaya laut adalah 0,3 mg/l (KLH, 2004). Sedangkan untuk nitrat adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002). Nitrite-meter adalah adalah alat untuk mengukur kadar kandungan Nitrite-Nitrogen (N-NO2-) dalam limbah cair atau dalam air. Konsentrasi yang dapat diukur dari 0,0 sampai 0,35 mg/L atau ppm dengann tingkat kesalahan ± 0,02 mg/L atau sekitar 4 % dari angka yang dibaca.

  1. Intensitas cahaya dan Kecerahan
            Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan jasad termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas perairan. Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang sangat menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis (Boyd, 1982).
            Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi), diatas nilai tersebut cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Sedangkan semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan faktor pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi.
            Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami penetrasi dipermukaan air. Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara harian dan musiman (Effendi, 2003).
            Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan. Di perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama antara lain :
Ø  Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan selanjutnya menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air. Perubahan suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat suatu organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya.
Ø  Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis algae dan tumbuhan air. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah.

  1. Kekeruhan
            Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil tersuspensi lainnya. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat besar pada metabolisme makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya.
            Menurut Alaerts dan Santika (1987) menyatakan bahwa ada 3 metode pengukuran kekeruhan yaitu:
a)      Metoda Nefelometrik (unit kekeruhan nefelometrik FTU atau NTU);
b)      Metoda Hellige Turbidimetri (unit kekeruhan silica);
c)      Metoda visual (unit kekeruhan Jackson). Metoda visual adalah cara kuno dan lebih sesuai untuk nilai kekeruhan yang tinggi, yaitu lebih dari 25 unit, sedangkan metode nefelometrik lebih sensitif dan dapat digunakan untuk segala tingkat kekeruhan.
            Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya. Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula.
            Padatan tersuspensi menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar berikut ini, dapat dilihat bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih (diukur sebagai total suspended  solid –TSS) memiliki dampak langsung yangberbahaya terhadap kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui beberapa mekanisme berikut ini:
a)      Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air;
b)      Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya;
c)      Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan;
d)     Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding;
e)      Gangguan terhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena padatan menghalangi sinar yang masuk;
f)       Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel.        

  1. COD ( Chemical Oxygen Demand )
            Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji COD. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organic yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam perairan (ALaerst dan Sartika, 1987).

  1. BOD ( Biochemical Oxygen Demand )
            BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
            Menurut Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa dalam uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah:
a)      Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau bahanbahan tereduksi lainnya yang disebut juga intermediate oxygen demand;
b)      Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal lima hari;
c)      Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukkan nilai total BOD melainkan hanya kira-kira 68 % dari total BOD;
d)     Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat didalam air tersebut, misalkan adanya germisida seperti chlorine yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan organik, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti.
            BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 0C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982). Berikut akan disajikan derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 2).
     

Kisaran BOD5 (mg/l)
Kriteria Kualitas Perairan
≤ 2,9
Tidak tercamar
3,0 – 5,0
Tercemar ringan
5,1- 14,9
Tercemar sedang
≥15,0
Tercemar berat






Tabel 2 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai BOD.
           
  1. Daya Dukung Lingkungan
      Purnomo (1997) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas perairan, sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya dukung (carrying capacity) merupakan areal dimana populasi organisme akuatik akan ditunjang oleh kawasan atau volume perairan tanpa mengalami penurunan mutu atau deteriorasi (Turner, 1998). Kenchington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai suatu kuantitas maksimum ikan yang didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang panjang. Poernomo (1992) menyatakan bahwa daya dukung dinyatakan sebagai pemanfaatan maksimum suatu kawasan atau suatu ekosistem baik berupa jumlah maupun kegiatan yang ada di dalamnya. Daya dukung ekonomi merupakan tingkat skala usaha dalam pemanfaatan sumberdaya yang memberikan
      Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme dalam suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena factor kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanent (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, CO2 dan parameter kualitas air lainnya. Sementara itu daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter parameter kelayakan usaha secara ekonomi seperti NPE (net present value), B/C (benefit cost ratio) dan IRR (internal rate of return). Hardjowigeno (2001) mengemukakan bahwa daya dukung/kesesuaian lahan dapat pula dibedakan atas kesesuaian lahan sekarang (present land suitability), yaitu kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan keadaan lahan pada saat dilakukan penelitian tanpa memperhitungkan jenis perbaikan lahan yang diperlukan; dan kesesuaian lahan potensial (potential land suitability), yaitu kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan lahan setelah diadakan perbaikanperbaikan tertentu yang diperlukan. Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas assimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Kemampuan assimilasi merupakan ukuran kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya (UNEP, 1993). Penjelasan tersebut apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir menjadi kemampuan badan air atau peraian di kawasan pesisir dalam menerima limbah organik, termasuk didalamnya adalah kemampuan mendaur ulang atau mengassimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat pada terganggunya keseimbangan ekologis suatu perairan (Widigdo, 2000).
BAB III
PENUTUP


            Kelimpahan nitrat dapat mendukung terjadinya eutrofikasi. Kondisi eutrofik tersebut sangat memungkinkan cyanobacteria (blue-green algae), khususnya Microcystis spp untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming). Akibatnya, kualitas air di perairan menurun, konsentrasi oksigen terlarut menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen ini menyebabkan proses pertumbuhan organisme aerobik terhambat, makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem air. Permasalahan lainnya, Microcystis spp diketahui menghasilkan toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Alga bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan pariwisata sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya.
            Mengingat ion Nitrit dan Nitrat merupakan sabuah proses yang saling berantai dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain maka berbagai dampak pada lingkungan dan kesehatan manusia adalah sama dengan dampak yang diakibatkan oleh ion Nitrat, akan tetapi karena ion Nitrit ini sangat labil ikatan kimianya, maka dampaknya akan semakin akut dan serius. Di alam sumber Nitrogen yang akan bersiklus menjadi Amoniak, Nitrit dan Nitrat sangatlah melimbah, dapat berasal dari alam (batuan/tanah) juga dari berbagai limbah organik, seperti limbah tinja/urine, limbah kotoran peternakan dan berbagai limbah organik lainnya yang oleh mikroorganisme akan diproses menjadi ion-ion Nitrit dan Nitrat tadi.
            Kualitas air secara fisik, kimia dan bakteriologi sangatlah memegang peranan yang sangat penting terhadap aspek kelayakan sumberdaya air untuk dapat dikonsumsi sebagai air bersih, oleh karena itu untuk menjaga kondisi kualitas dialam dengan baik, diperlukan pemahaman tentang sifat, karakeristik, proses siklus air, kegiatan yang akan berdampak terhadap air serta pengetahuan dasar tentang tata cara pengolahan dan pemulihan sumberdaya air yang agar dapat dimanfaatkan kembali.

1 comment: