Tuesday, January 3, 2012

DINAMIKA POPULASI PLANKTON

DINAMIKA POPULASI PLANKTON
please, after reading an article or would leave this page, leave a comment .>.>. . . (^_^)
1.      Pendahuluan
Plankton merupakan mikroorganisme yang memiliki peran penting dalam suatu perairan. Menurut Herawati (1989) dan Kusriani (2005), plankton merupakan suatu organisme yang berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus perairan. Organisme ini terdiri dari mikroorganisme yang hidupnya sebagai hewan (zooplankton) dan tumbuhan (fitoplankton). Plankton merupakan organisme mikro yang keberadaannya dalam lingkungan perairan sangat penting, karena sebagai produser primer, plankton akan menghasilkan  karbohidrat yang menjadi makanan konsumer primer dan menjadi dasar rantai makanan (Kavanaugh et al. 2009).
Menurut Suryanto (2006), komunitas organisme adalah sesuatu yang dinamis, dimana populasi-populasi yang ada didalamnya saling berinteraksi, dan mengalami variasi dari waktu ke waktu. Variasi atau perubahan komunitas tersebut tidak lain karena adanya pengaruh faktor-faktor lingkungan yang komplek. Demikian pula dengan fitoplankton juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut akan mencerminkan perkembangan komunitas secara keseluruhan, seperti biomasa, keanekaragaman spesies, dan produksinya. Sebagai contoh, spesies yang dominan pada waktu tertentu sering menjadi langka atau menghilang sama sekali pada waktu berikutnya, atau sebaliknya. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan komunitas fitoplankton (biomassa, keragaman spesies, dan produksi) adalah ketersediaan nutrien di perairan.
Dinamika plankton dipengaruhi oleh faktor fisika (suhu, intensitas cahaya), faktor kimia (unsur hara), dan faktor biologis (kompetisi dan pemangsaan). Jenis plankton yang berbeda mempunyai reaksi yang berbeda pula misalnya terhadap suhu dan intensitas cahaya. Menurut Effendi (2003), organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas bawah dan atas) yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya alga dari filum chlorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30o C - 35o C dan 20o C - 30o C. Filum cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan chlorophyta dan diatom.
Pada peraian yang tenang, yang sangat banyak ditumbuhi alga adalah pada mintakat epilimnion. Ketika matahari bersinar terik, alga cenderung menjauhi permukaan perairan karena suhu air relatif tinggi. Alga melakukan kegiatan fotosintesis secara intensif pada kolom air, pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan (Effendi, 2003).

2.      Dinamika Plankton
2.1 Suksesi
Suksesi plankton merupakan proses pergantian dominasi plankton karena adanya faktor pembatas dalam pertumbuhannya yang terjadi secara alami sehingga memunculkan jenis lain yang mendominasi. Setiap jenis pla-nkton memiliki faktor pembatas yang berbeda dalam memanfaatkan nutrien sebagai sumber unsur hara saat berlangsungnya fotosintesis. Adanya faktor pembatas dari setiap jenis phytoplankton akibat perbedaan nutrien yang tersedia dapat menimbulkan terjadinya suksesi. Berikut ini adalah suksesi yang terjadi secara alami karena adanya kebutuhan nutrien yang berbeda dari masing-masing kelas.
Cyanophyta dan Dinoflagellata yang tumbuh di perairan alami dapat tumbuh baik walaupun nutrien sedikit  dan mampu mendominasi jenis diatom dan green algae (chlorophyta). Kondisi tersebut perlu diperhatikan dalam pengelolaan phytoplankton terutama dalam pengaturan pemupukan untuk mendapatkan rasio N/P yang tepat sehingga dapat menjadikan Diatom atau Green Algae mendominasi di perairan.
2.2 Daya Apung (Buoyancy)
Kemampuan daya apung beberapa phytoplankton merupakan suatu karakteristik yang khas untuk menempatkan posisinya secara vertikal dalam kolom air. Kemampuan ini sangat berhubungan dengan sifat fototropik dalam lingkungan eutropik pada suhu dan cahaya yang kuat. Beberapa phytoplankton yang memiliki kemampuan tersebut berasal dari kelas Cyanophyceae (Blue Green Algae-BGA). Faktor lingkungan yang mempengaruhi daya apung adalah iradiasi (intensitas sinar matahari), ketersediaan CO2 dan Nitrogen anorganik. Iradiasi sangat berperan dalam mengendalikan daya apung. Hal ini terjadi sebagai berikut, ketika iradiasi tinggi maka fotosintesis juga tinggi sehingga tekanan turgor sel  naik yang menyebabkan vakuola gas dalam sel mengempis akibatnya daya apung menurun, tetapi sebaliknya ketika iradiasi rendah maka laju fotosintesis rendah sehingga tekanan turgor sel turun dan vakuola gas meningkat, akibatnya daya apung meningkat. Hal ini digunakan oleh BGA untuk bersaing dengan jenis lain dalam mendapatkan cahaya matahari ketika iradiasi rendah untuk menempatkan posisinya pada kolom air sehingga tetap terjadi fotosintesis dan pertumbuhan.
Gambar 1. Rantai makanan grazing dan detritus serta peranan fitoplankton di ekosistem laut
(Sumber: www.marine-geonomics-europe.org)
2.3 Blooming BGA (Blue Green Algae)
Perbandingan rasio N/P yang rendah dapat memicu timbulnya blooming Cyanophyta (BGA). Beberapa genus BGA yang berbentuk benang memiliki sel khusus yang disebut heterocysta yang mampu mengikat Nitrogen bebas dari udara (Fiksasi Nitrogen), sehingga jenis ini dapat bertahan hidup dalam perairan yang memiliki konsentrasi nitrogen yang rendah sementara jenis lain tidak dapat melakukannya.
Beberapa genus BGA yang memiliki heterocysta pada kondisi N/P rasio yang rendah <10 sering mendominasi perairan dan menimbulkan blooming BGA adalah Anabaena, Aphanizomenon, beberapa spesies Osci-llatoria dan Microcystis. Beberapa  akibat secara langsung dari adanya bloo-ming BGA ini adalah :
  1. Turunnya Oksigen terlarut (DO) secara drastis sampai konsentrasi di bawah 4 ppm pada siang hari, hal ini terjadi karena DO yang dihasilkan saat fotosintesis banyak digunakan untuk dekomposisi sel-sel BGA yang mati. DO dengan konsentrasi di bawah 4 ppm dapat membahayakan kehidupan udang.
  2. Meningkatnya konsentrasi ammonia akibat laju proses nitrifikasi berjalan lambat karena DO rendah. Hal ini terjadi terutama di dasar perairan, karena biasanya saat terjadi blooming BGA, DO hanya terdapat di kolom air dekat permukaan.
  3. Jenis BGA ada yang mengeluarkan racun penyebab bau Lumpur (Geosmin) sehingga udang atau ikan yang dibudidayakan berbau tanah (Off Flavour)
  4. Jenis BGA dari spesies  Schizothrix calcicola dapat membahayakan dan menimbulkan penyakit pada udang secara langsung bahkan kematian, penyakit yang ditimbulkannya adalah Hemocytic Enteritic (HE) yaitu kerusakan di bagian mid gut. Sedangkan Aphanizomenon menghasilkan Neurotoxin yaitu sejenis racun yang mengganggu system saraf.
2.4  Pasang Merah (Red tide)
Pasang merah (red tide) awalnya dikenal sebagai fenomena alami di perairan laut yang timbul karena adanya pertumbuhan phytoplankton jenis Dinoflagellata yang terjadi secara drastis dan tak terkendali yang menye-babkan warna air coklat kemerah-merahan sampai merah menyala. Fenomena ini diduga terjadi ketika N/P rasio rendah, adanya stratifikasi suhu, dan saat terjadi peralihan musim serta adanya up welling. Beberapa jenis phytopla-nkton golongan Dinoflagellata penyebab red tide ketika terjadi blooming sel-selnya akan mengalami lisis dan mengeluarkan racun yang dapat membahayakan organisme yang dibudidayakan bahkan manusia juga. Jenis-jenis Dinoflagellata yang telah diketahui menghasilkan racun adalah :
Genus
Toxin
Nama/ Efek
Alexandrium,Gonyaulax
Ptyochodiscus
Gambierdiscus
Dinophysis
Saxitoxin dan Goniautoxin
Brevetoxin
Ciguatoxin dan Maltotoxin.
Okadaic acid
Paralytic Shelfish Poisoning
Neurotoxic Shelfish Poisoning
Ciguatera Fish Poisoning
Diarethic Shelfish Poisoning
Plankton-palnkton tersebut akan menimbulkan kematian masal pada ikan-ikan yang berada diperairan sekitar timbulnya red tide sedangkan apabila dimakan oleh jenis kerang-kerangan tidak dapat menimbulkan kematian tetapi apabila kerang-kerangan tersebut dimakan oleh manusia dapat menimbulkan penyakit Paralytic Shelfish Poisoning (PSP) dan Dyarhetic Shellfish Poisoning (DSP). Dinoflagellata juga dapat secara langsung membahayakan udang kare-na menimbulkan penyakit yang disebut Blunted Head Syndrom yaitu terja-dinya pengikisan di kepala bagian anterior (Rostrum dan Antennula).
2.5 Distribusi Spasial dan Temporal
2.5.1. Ditribusi Horizontal
Distribusi fitoplankton secara horizontal lebih banyak dipengaruhi faktor fisik berupa pergerakan masa air. Oleh karena itu pengelompokan (pathciness) plankton lebih banyak terjadi pada daerah neritik terutama yang dipengaruhi estuaria dibandingkan dengan oseanik. Faktor-faktor fisik yang menyebabkan distribusi fitoplankton yang tidak merata antara lain arus pasang surut, morfo-geografi setempat, dan proses fisik dari lepas pantai berupa arus yang membawa masa air kepantai akibat adanya hembusan angin. Selain itu keter-sediaan nutrien pada setiap perairan yang berbeda menyebabkan perbedaan kelimpahan fito-plankton pada daerah-daerah tersebut.(Gambar 2). Pada daerah dimana terjadi upwelling atau turbulensi, kelimpahan plankton juga lebih besar dibanding daerah lain yang tidak ada.
Gambar 2. Salah satu citra satelit yang menggambarkan distribusi fitoplankton di laut
(Sumber: www.cnrsfr/presse/communique/564.htm)
2.5.2. Distribusi Vertikal
Distribusi vertikal plankton sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitasnya, selain kemampuan pergerakan atau faktor ling-kungan yang mendukung plankton mampu bermigrasi secara vertikal. Menurut Seele dan Yentch (1960) dalam Parsons dkk (1984), dis-tribusi fitoplankton di laut secara umum menunjukkan densitas maksimum dekat lapisan permukaan (lapisan fotik) dan pada waktu lain berada diba-wahnya. Hal ini menunjukan bahwa distribusi vertikal sangat berhubungan dengan dimensi waktu (temporal). Selain faktor cahaya, suhu juga sangat mendukung pergerakannya secara vertikal. Hal ini sangat berhubungan de-ngan densitas air laut yang mampu menahan plankton untuk tidak tenggelam. Perpindahan secara vertikal ini juga dipengaruhi oleh kemampuannya ber-gerak atau lebih tepat mengadakan adaptasi fisiologis sehingga terus melayang pada kolom air. Perpaduan kondisi fisika air dan mekanisme mengapung me-nyebabkan plankton mampu bermigrasi secara vertikal sehingga distribusinya berbeda secara vertikal dari waktu ke waktu.
Menurut Nybakken (1988) ada beberapa mekanisme mengapung yang dilakukan plankton untuk dapat mempertahankan diri tetap melayang dalam kolom air yaitu antara lain:
-        Mengubah komposisi cairan-cairan tubuh sehingga densitasnya menjadi lebih kecil dibandingkan densitas air laut. Mekanisme ini biasa dilakukan oleh Noctiluca dengan memasukkan amonium klorida (NH4Cl) kedalam cairan tubuhnya.
-        Membentuk pelampung berisi gas, sehingga densitasnya menjadi lebih kecil dari densitas air. Contoh untuk jenis ini adalah ubur ubur
-        Menghasilkan cairan yang densitasnya lebih rendah dari air laut. Cairan terse-but biasanya berupa minyak dan lemak. Mekanisme ini banyak dilakukan oleh diatom maupun zoolankton dari jenis copepoda
-        Memperbesar hambatan permukaan. Mekanisme ini dilakukan dengan mengu-bah bentuk tubuh atau membentuk semacam tonjolan/duri pada permukaan tubuhnya.
2.5.3. Distribusi harian dan musiman
Distribusi plankton dari waktu ke waktu lebih banyak ditentukan oleh pengaruh lingkungan. Distribusi temporal banyak dipengaruhi oleh pergerakan matahari atau dengan kata lain cahaya sangat mendominasi pola distribusinya. Distribusi harian plankton, terutama pada daerah tropis, mengikuti perubahan intensitas cahaya sebagai akibat pergerakan semu matahari. Pada pagi hari dimana intensitas cahaya masih rendah dan suhu permukaan air masih relatif dingin plankton berada tidak jauh dengan permukaan. Pada siang hari plankton berada cukup jauh dari pemukaan karena ’menghindari’ cahaya yang terlalu kuat. Pada sore hingga malam hari plankton begerak mendekati bahkan berada pada daerah permukaan (Gross,1988) pada gambar. 3.
Gambar 3. Pola pergerakan harian plankton
Sumber : (Gross,1988)
Seperti dijelaskan tentang migrasi vertikal, setidaknya ada dua teori yang dapat menjelaskan mengapa plankton dapat bergerak secara vertikal. Pertama plankton terangkat oleh mekanisme pergerakan air yang disebabkan oleh perbe-daan densitas. Pada siang hari dimana air pada lapisan yang lebih dalam memiliki suhu yang relatif dingin dibandingkan pada daerah lebih atas. Dalam kondisi demikian maka plankton akan terapung diatas lapisan tersebut. Pada malam hari lapisan bagian atas mulai mendingin sehingga plankton terangkat pada lapisan tersebut karena densitas plankton yang lebih rendah dari densitas air. Alasan kedua adalah karena adanya mekanisme pergerakan yang dilakukan oleh plankton.
Dengan pola migrasi tersebut maka plankton baik fitoplankton maupun zooplankton akan terdistribusi secara tidak merata di perairan. Pola distribusi fitoplankton dan zooplankton baik siang maupun malam di daerah tropis Sa-mudera Pasifik digambarkan oleh Longhurst dan Pauly (1987) pada gambar 4.
Gambar 4. Pola distribusi organisme laut di Samudera Pasifik pada siang dan malam hari
(Longhurst dan Pauly, 1987)
Distribusi secara musiman pada beberapa  daerah tropis pada bujur yang berbeda menunjukkan bahwa prod uksi fitoplankton berlansung p eriodik dari waktu ke waktu (Gambar 5).
Gambar 5. Produktivitas fitoplankton musiman pada daerah tropis
(Longhurst dan Pauly, 1987)
2.6 Reproduksi dan Siklus Hidup Plankton
Menurut Kennish (1990) dan Nybakken (1988) sebagian besar di atom melakukan reproduksi melalui pembelahan sel vegetatif. Hasil pembelahan sel menjadi dua bagian yaitu bagian atas (epiteka) dan bagian bawah (hipoteka). Selanjutnya masing-masing belahan akan membentuk pasangannya yang baru berupa pasangan penutupnya. Bagian epiteka akan membuat hip oteka dan bagian hipoteka akan membuat epiteka. Pembuatan bagian-bagian tersebut disekresi atau diperoleh dari sel masing-masing sehingga semakin lama semakin kecil ukuran selnya. Dengan demikian ukuran individu-individu dari spesies yang sama tetapi dari generasi yang berlainan akan berbeda. Reproduksi aseksual seperti ini menghasilkan sejumlah ukuran yang bervariasi dari suatu populasi diatom pada suatu spesies. Ukuran terkecil dapat mencapai 30 kali lebih kecil dari ukuran terbesarnya (Kennish, 1990). Tetapi proses pengurangan ukuran ini terbatas sampai suatu generasi tert entu.  Apabila generasi itu telah tercapai di atom akan meninggalkan kedua katupnya dan terbentuklah apa yang disebut auxospore (Gambar 6)
Gambar 6. Proses pengecilan ukuran diatom dan pembentukan Auxospore
(sumber: Nybakken, 1988)
Proses seperti diatas digambar kan pula oleh Parsons dkk (1984 ) menya-takan bahwa reproduksi seksual dan pembentukan spora mungkin juga terjadi pada diatom(Gambar 7). Dari gambar tersebut terlihat pengurangan ukuran sel selama pembelahan aseksual (1s.d2), reproduksi seksual dengan susunan gamet-gamet berflagel (2s.d.3), pembentukan auxospore (4). Pemben-tukan spora non aktif (resting spore) mungkin juga terjadi (5) secara langsung dari sel vegetatif. 
Reproduksi diantara zooplankton crustacea pada umumnya uni sexual melibatkan baik hewan jantan maupun betina, meskipun terjadi partenogenesis diantara Cladocera dan Ostraco da. Menurut Parsons (1984) siklus hidup co-pepoda Calanus dari telur hingga dewasa melewati 6 fase naupli dan 6 fase copepodit (Gambar 8). Perubahan bentuk pada beberapa fase naupli pertama terjadi kira-kira beberapa hari dan mungkin tidak makan. Enam pase kope-podit dapat diselesaikan kurang dari 30 hari (bergantung suplai makan dan temperatur) dan beberapa generasi dari spesies yang sma mungkin terjadi dalam tahun yang sama (yang disebut siklus hidup ephemeral). Laju peng-gandaan sel diatom berlangsung sekitar 0.5 sampai 6 sel/hari.
Gambar 7.  Siklus hidup diatom laut, Chaetoceros didymum
Gambar 8.  Garis besar siklus hidup copepoda
(Sumber : Nybakken, 1988)
3.      Kesimpulan
Plankton merupakan organisme mikro yang keberadaannya dalam lingkungan perairan sangat penting, karena sebagai produser primer, plankton akan menghasilkan  karbohidrat yang menjadi makanan konsumer primer dan menjadi dasar rantai makanan (Kavanaugh et al. 2009). Menurut Suryanto (2006), komunitas organisme adalah sesuatu yang dinamis, dimana populasi-populasi yang ada didalamnya saling berinteraksi, dan mengalami variasi dari waktu ke waktu. Variasi atau perubahan komunitas tersebut tidak lain karena adanya pengaruh faktor-faktor lingkungan yang komplek. Dinamika plankton dipengaruhi oleh faktor fisika (suhu, intensitas cahaya), faktor kimia (unsur hara), dan faktor biologis (kompetisi dan pemangsaan). Menurut Effendi (2003), organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas bawah dan atas) yang disukai bagi pertumbuhannya. Dalam dinamika plankton terdapat beberapa factor seperti, : Suksesi, Daya Apung (Buoyancy), Blooming BGA (Blue Green Algae), Pasang Merah (Red tide), Reproduksi dan Siklus Hidup Plankton, dan Distribusi Spasial dan Temporal.

1 comment: