DINAMIKA
POPULASI PLANKTON
please, after reading an article or would leave this page, leave a comment .>.>. . . (^_^)
1. Pendahuluan
Plankton
merupakan mikroorganisme yang memiliki peran penting dalam suatu perairan.
Menurut Herawati (1989)
dan Kusriani (2005), plankton merupakan suatu organisme yang berukuran kecil
yang hidupnya terombang-ambing oleh arus perairan. Organisme ini terdiri dari
mikroorganisme yang hidupnya sebagai hewan (zooplankton) dan tumbuhan
(fitoplankton). Plankton merupakan
organisme mikro yang keberadaannya dalam lingkungan perairan sangat penting,
karena sebagai produser primer, plankton akan menghasilkan karbohidrat yang menjadi makanan konsumer
primer dan menjadi dasar rantai makanan (Kavanaugh et al. 2009).
Menurut
Suryanto (2006), komunitas organisme adalah sesuatu yang dinamis, dimana
populasi-populasi yang ada didalamnya saling berinteraksi, dan mengalami
variasi dari waktu ke waktu. Variasi atau perubahan komunitas tersebut tidak
lain karena adanya pengaruh faktor-faktor lingkungan yang komplek. Demikian
pula dengan fitoplankton juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Perubahan tersebut akan mencerminkan perkembangan komunitas secara keseluruhan,
seperti biomasa, keanekaragaman spesies, dan produksinya. Sebagai contoh,
spesies yang dominan pada waktu tertentu sering menjadi langka atau menghilang
sama sekali pada waktu berikutnya, atau sebaliknya. Salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan komunitas fitoplankton (biomassa,
keragaman spesies, dan produksi) adalah ketersediaan nutrien di perairan.
Dinamika
plankton dipengaruhi oleh faktor fisika (suhu, intensitas cahaya), faktor kimia
(unsur hara), dan faktor biologis (kompetisi dan pemangsaan). Jenis plankton
yang berbeda mempunyai reaksi yang berbeda pula misalnya terhadap suhu dan
intensitas cahaya. Menurut Effendi (2003), organisme akuatik memiliki kisaran
suhu tertentu (batas bawah dan atas) yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya
alga dari filum chlorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran
suhu berturut-turut 30o C - 35o C dan 20o C - 30o C. Filum cyanophyta lebih
dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan
chlorophyta dan diatom.
Pada peraian yang
tenang, yang sangat banyak ditumbuhi alga adalah pada mintakat epilimnion.
Ketika matahari bersinar terik, alga cenderung menjauhi permukaan perairan
karena suhu air relatif tinggi. Alga melakukan kegiatan fotosintesis secara
intensif pada kolom air, pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan
(Effendi, 2003).
2. Dinamika
Plankton
2.1 Suksesi
Suksesi plankton
merupakan proses pergantian dominasi plankton karena adanya faktor pembatas
dalam pertumbuhannya yang terjadi secara alami sehingga memunculkan jenis lain
yang mendominasi. Setiap jenis pla-nkton
memiliki faktor pembatas
yang berbeda dalam memanfaatkan nutrien sebagai sumber unsur hara saat
berlangsungnya fotosintesis. Adanya faktor pembatas dari setiap jenis
phytoplankton akibat perbedaan nutrien yang tersedia dapat menimbulkan
terjadinya suksesi. Berikut ini adalah suksesi yang terjadi secara alami karena adanya
kebutuhan nutrien yang berbeda dari masing-masing kelas.
Cyanophyta dan
Dinoflagellata yang tumbuh di perairan alami dapat tumbuh baik walaupun nutrien
sedikit dan mampu mendominasi jenis
diatom dan green algae (chlorophyta). Kondisi tersebut perlu
diperhatikan dalam pengelolaan phytoplankton terutama dalam pengaturan
pemupukan untuk mendapatkan rasio N/P yang tepat sehingga dapat menjadikan
Diatom atau Green Algae mendominasi di perairan.
2.2 Daya Apung (Buoyancy)
Kemampuan daya apung
beberapa phytoplankton merupakan suatu karakteristik yang khas untuk
menempatkan posisinya secara vertikal dalam kolom air. Kemampuan ini sangat
berhubungan dengan sifat fototropik dalam lingkungan eutropik pada suhu dan cahaya
yang kuat. Beberapa phytoplankton yang memiliki kemampuan tersebut berasal dari
kelas Cyanophyceae (Blue Green Algae-BGA). Faktor lingkungan yang
mempengaruhi daya apung adalah iradiasi (intensitas sinar matahari),
ketersediaan CO2 dan Nitrogen anorganik. Iradiasi sangat berperan
dalam mengendalikan daya apung. Hal ini terjadi sebagai berikut, ketika
iradiasi tinggi maka fotosintesis juga tinggi sehingga tekanan turgor sel naik yang menyebabkan vakuola gas dalam sel
mengempis akibatnya daya apung menurun, tetapi sebaliknya ketika iradiasi
rendah maka laju fotosintesis rendah sehingga tekanan turgor sel turun dan
vakuola gas meningkat, akibatnya daya apung meningkat. Hal ini digunakan oleh
BGA untuk bersaing dengan jenis lain dalam mendapatkan cahaya matahari ketika
iradiasi rendah untuk menempatkan posisinya pada kolom air sehingga tetap
terjadi fotosintesis dan pertumbuhan.
Gambar 1. Rantai makanan grazing dan detritus serta
peranan fitoplankton di ekosistem laut
(Sumber: www.marine-geonomics-europe.org)
2.3 Blooming BGA (Blue
Green Algae)
Perbandingan rasio N/P
yang rendah dapat memicu timbulnya blooming Cyanophyta (BGA). Beberapa genus
BGA yang berbentuk benang memiliki sel khusus yang disebut heterocysta yang
mampu mengikat Nitrogen bebas dari udara (Fiksasi Nitrogen), sehingga jenis ini
dapat bertahan hidup dalam perairan yang memiliki konsentrasi nitrogen yang
rendah sementara jenis lain tidak dapat melakukannya.
Beberapa genus BGA yang
memiliki heterocysta pada kondisi N/P rasio yang rendah <10 sering
mendominasi perairan dan menimbulkan blooming BGA adalah Anabaena,
Aphanizomenon, beberapa spesies Osci-llatoria dan Microcystis.
Beberapa akibat secara langsung dari
adanya bloo-ming BGA ini adalah :
- Turunnya Oksigen terlarut (DO) secara drastis sampai konsentrasi di bawah 4 ppm pada siang hari, hal ini terjadi karena DO yang dihasilkan saat fotosintesis banyak digunakan untuk dekomposisi sel-sel BGA yang mati. DO dengan konsentrasi di bawah 4 ppm dapat membahayakan kehidupan udang.
- Meningkatnya konsentrasi ammonia akibat laju proses nitrifikasi berjalan lambat karena DO rendah. Hal ini terjadi terutama di dasar perairan, karena biasanya saat terjadi blooming BGA, DO hanya terdapat di kolom air dekat permukaan.
- Jenis BGA ada yang mengeluarkan racun penyebab bau Lumpur (Geosmin) sehingga udang atau ikan yang dibudidayakan berbau tanah (Off Flavour)
- Jenis BGA dari spesies Schizothrix calcicola dapat membahayakan dan menimbulkan penyakit pada udang secara langsung bahkan kematian, penyakit yang ditimbulkannya adalah Hemocytic Enteritic (HE) yaitu kerusakan di bagian mid gut. Sedangkan Aphanizomenon menghasilkan Neurotoxin yaitu sejenis racun yang mengganggu system saraf.
2.4 Pasang Merah (Red tide)
Pasang merah (red tide)
awalnya dikenal sebagai fenomena alami di perairan laut yang timbul karena
adanya pertumbuhan phytoplankton jenis Dinoflagellata yang terjadi secara
drastis dan tak terkendali yang menye-babkan warna air coklat kemerah-merahan
sampai merah menyala. Fenomena ini diduga
terjadi ketika N/P rasio rendah, adanya stratifikasi suhu, dan saat terjadi
peralihan musim serta adanya up welling.
Beberapa jenis phytopla-nkton golongan Dinoflagellata penyebab red tide
ketika terjadi blooming sel-selnya akan mengalami lisis dan mengeluarkan racun
yang dapat membahayakan organisme yang dibudidayakan bahkan manusia juga. Jenis-jenis Dinoflagellata yang telah diketahui
menghasilkan racun adalah :
Genus
|
Toxin
|
Nama/
Efek
|
Alexandrium,Gonyaulax
Ptyochodiscus
Gambierdiscus
Dinophysis
|
Saxitoxin dan
Goniautoxin
Brevetoxin
Ciguatoxin dan
Maltotoxin.
Okadaic acid
|
Paralytic Shelfish
Poisoning
Neurotoxic Shelfish
Poisoning
Ciguatera Fish
Poisoning
Diarethic Shelfish
Poisoning
|
Plankton-palnkton
tersebut akan menimbulkan kematian masal pada ikan-ikan yang berada diperairan
sekitar timbulnya red tide sedangkan apabila dimakan oleh jenis
kerang-kerangan tidak dapat menimbulkan kematian tetapi apabila kerang-kerangan
tersebut dimakan oleh manusia dapat menimbulkan penyakit Paralytic Shelfish
Poisoning (PSP) dan Dyarhetic Shellfish Poisoning (DSP). Dinoflagellata juga dapat secara langsung membahayakan
udang kare-na menimbulkan penyakit yang disebut Blunted Head Syndrom yaitu terja-dinya
pengikisan di kepala bagian anterior (Rostrum dan Antennula).
2.5
Distribusi Spasial dan Temporal
2.5.1.
Ditribusi Horizontal
Distribusi fitoplankton
secara horizontal lebih banyak dipengaruhi faktor fisik berupa pergerakan masa
air. Oleh karena itu pengelompokan (pathciness) plankton lebih banyak terjadi
pada daerah neritik terutama yang dipengaruhi estuaria dibandingkan dengan
oseanik. Faktor-faktor fisik yang menyebabkan distribusi fitoplankton yang tidak
merata antara lain arus pasang surut, morfo-geografi setempat, dan proses fisik
dari lepas pantai berupa arus yang membawa masa air kepantai akibat adanya
hembusan angin. Selain itu keter-sediaan nutrien pada setiap perairan yang
berbeda menyebabkan perbedaan kelimpahan fito-plankton pada daerah-daerah
tersebut.(Gambar 2). Pada daerah dimana terjadi upwelling atau turbulensi,
kelimpahan plankton juga lebih besar dibanding daerah lain yang tidak ada.
Gambar 2. Salah satu citra satelit yang menggambarkan
distribusi fitoplankton di laut
(Sumber: www.cnrsfr/presse/communique/564.htm)
2.5.2.
Distribusi Vertikal
Distribusi
vertikal plankton sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitasnya, selain kemampuan pergerakan atau faktor ling-kungan yang
mendukung plankton mampu bermigrasi secara vertikal. Menurut Seele dan Yentch
(1960) dalam Parsons dkk (1984), dis-tribusi fitoplankton di laut secara umum
menunjukkan densitas maksimum dekat lapisan permukaan (lapisan fotik) dan pada
waktu lain berada diba-wahnya. Hal ini menunjukan bahwa distribusi vertikal
sangat berhubungan dengan dimensi waktu (temporal). Selain faktor cahaya, suhu
juga sangat mendukung pergerakannya secara vertikal. Hal ini sangat berhubungan
de-ngan densitas air laut yang mampu menahan plankton untuk tidak tenggelam.
Perpindahan secara vertikal ini juga dipengaruhi oleh kemampuannya ber-gerak
atau lebih tepat mengadakan adaptasi fisiologis sehingga terus melayang pada
kolom air. Perpaduan kondisi fisika air dan mekanisme mengapung me-nyebabkan plankton
mampu bermigrasi secara vertikal sehingga distribusinya berbeda secara vertikal
dari waktu ke waktu.
Menurut Nybakken
(1988) ada beberapa mekanisme mengapung yang dilakukan plankton untuk dapat mempertahankan
diri tetap melayang dalam kolom air yaitu antara lain:
-
Mengubah
komposisi cairan-cairan tubuh sehingga densitasnya menjadi lebih kecil
dibandingkan densitas air laut. Mekanisme ini biasa dilakukan oleh Noctiluca
dengan memasukkan amonium klorida (NH4Cl) kedalam cairan tubuhnya.
-
Membentuk
pelampung berisi gas, sehingga densitasnya menjadi lebih kecil dari densitas
air. Contoh untuk jenis ini adalah ubur ubur
-
Menghasilkan
cairan yang densitasnya lebih rendah dari air laut. Cairan terse-but biasanya
berupa minyak dan lemak. Mekanisme ini banyak dilakukan oleh diatom maupun
zoolankton dari jenis copepoda
-
Memperbesar
hambatan permukaan. Mekanisme ini dilakukan dengan mengu-bah bentuk tubuh atau
membentuk semacam tonjolan/duri pada permukaan tubuhnya.
2.5.3. Distribusi harian dan musiman
Distribusi
plankton dari waktu ke waktu lebih banyak ditentukan oleh pengaruh lingkungan.
Distribusi temporal banyak dipengaruhi oleh pergerakan matahari atau dengan
kata lain cahaya sangat mendominasi pola distribusinya. Distribusi harian
plankton, terutama pada daerah tropis, mengikuti perubahan intensitas cahaya
sebagai akibat pergerakan semu matahari. Pada pagi hari dimana intensitas
cahaya masih rendah dan suhu permukaan air masih relatif dingin plankton berada
tidak jauh dengan permukaan. Pada siang hari plankton berada cukup jauh dari
pemukaan karena ’menghindari’ cahaya yang terlalu kuat. Pada sore hingga malam
hari plankton begerak mendekati bahkan berada pada daerah permukaan
(Gross,1988) pada gambar. 3.
Gambar 3. Pola pergerakan harian plankton
Sumber : (Gross,1988)
Seperti
dijelaskan tentang migrasi vertikal, setidaknya ada dua teori yang dapat
menjelaskan mengapa plankton dapat bergerak secara vertikal. Pertama plankton
terangkat oleh mekanisme pergerakan air yang disebabkan oleh perbe-daan
densitas. Pada siang hari dimana air pada lapisan yang lebih dalam memiliki
suhu yang relatif dingin dibandingkan pada daerah lebih atas. Dalam kondisi
demikian maka plankton akan terapung diatas lapisan tersebut. Pada malam hari
lapisan bagian atas mulai mendingin sehingga plankton terangkat pada lapisan
tersebut karena densitas plankton yang lebih rendah dari densitas air. Alasan
kedua adalah karena adanya mekanisme pergerakan yang dilakukan oleh plankton.
Dengan pola
migrasi tersebut maka plankton baik fitoplankton maupun zooplankton akan
terdistribusi secara tidak merata di perairan. Pola distribusi fitoplankton dan
zooplankton baik siang maupun malam di daerah tropis Sa-mudera Pasifik
digambarkan oleh Longhurst dan Pauly (1987) pada gambar 4.
Gambar 4. Pola distribusi organisme laut di Samudera
Pasifik pada siang dan malam hari
(Longhurst dan Pauly, 1987)
Distribusi secara musiman pada beberapa daerah tropis pada bujur yang berbeda
menunjukkan bahwa prod uksi fitoplankton berlansung p eriodik dari waktu ke
waktu (Gambar 5).
Gambar 5. Produktivitas fitoplankton musiman pada
daerah tropis
(Longhurst dan Pauly, 1987)
2.6
Reproduksi dan Siklus Hidup Plankton
Menurut Kennish
(1990) dan Nybakken (1988) sebagian besar di atom melakukan reproduksi melalui
pembelahan sel vegetatif. Hasil pembelahan sel menjadi dua bagian yaitu bagian
atas (epiteka) dan bagian bawah (hipoteka). Selanjutnya masing-masing belahan
akan membentuk pasangannya yang baru berupa pasangan penutupnya. Bagian epiteka
akan membuat hip oteka dan bagian hipoteka akan membuat epiteka. Pembuatan
bagian-bagian tersebut disekresi atau diperoleh dari sel masing-masing sehingga
semakin lama semakin kecil ukuran selnya. Dengan demikian ukuran
individu-individu dari spesies yang sama tetapi dari generasi yang berlainan
akan berbeda. Reproduksi aseksual seperti ini menghasilkan sejumlah ukuran yang
bervariasi dari suatu populasi diatom pada suatu spesies. Ukuran terkecil dapat
mencapai 30 kali lebih kecil dari ukuran terbesarnya (Kennish, 1990). Tetapi
proses pengurangan ukuran ini terbatas sampai suatu generasi tert entu. Apabila generasi itu telah tercapai di atom
akan meninggalkan kedua katupnya dan terbentuklah apa yang disebut auxospore
(Gambar 6)
Gambar 6. Proses pengecilan ukuran diatom dan
pembentukan Auxospore
(sumber: Nybakken, 1988)
Proses
seperti diatas digambar kan pula oleh Parsons dkk (1984 ) menya-takan bahwa
reproduksi seksual dan pembentukan spora mungkin juga terjadi pada
diatom(Gambar 7). Dari gambar tersebut terlihat pengurangan ukuran sel selama
pembelahan aseksual (1s.d2), reproduksi seksual dengan susunan gamet-gamet
berflagel (2s.d.3), pembentukan auxospore (4). Pemben-tukan spora non aktif
(resting spore) mungkin juga terjadi (5) secara langsung dari sel
vegetatif.
Reproduksi
diantara zooplankton crustacea pada umumnya uni sexual melibatkan baik hewan
jantan maupun betina, meskipun terjadi partenogenesis diantara Cladocera dan
Ostraco da. Menurut Parsons (1984) siklus hidup co-pepoda Calanus dari telur
hingga dewasa melewati 6 fase naupli dan 6 fase copepodit (Gambar 8). Perubahan
bentuk pada beberapa fase naupli pertama terjadi kira-kira beberapa hari dan
mungkin tidak makan. Enam pase kope-podit dapat diselesaikan kurang dari 30
hari (bergantung suplai makan dan temperatur) dan beberapa generasi dari spesies
yang sma mungkin terjadi dalam tahun yang sama (yang disebut siklus hidup
ephemeral). Laju peng-gandaan sel diatom berlangsung sekitar 0.5 sampai 6
sel/hari.
Gambar 7.
Siklus hidup diatom laut, Chaetoceros didymum
Gambar 8. Garis
besar siklus hidup copepoda
(Sumber : Nybakken, 1988)
3. Kesimpulan
Plankton merupakan organisme mikro yang keberadaannya
dalam lingkungan perairan sangat penting, karena sebagai produser primer,
plankton akan menghasilkan karbohidrat
yang menjadi makanan konsumer primer dan menjadi dasar rantai makanan
(Kavanaugh et al. 2009). Menurut Suryanto
(2006), komunitas organisme adalah sesuatu yang dinamis, dimana
populasi-populasi yang ada didalamnya saling berinteraksi, dan mengalami
variasi dari waktu ke waktu. Variasi atau perubahan komunitas tersebut tidak
lain karena adanya pengaruh faktor-faktor lingkungan yang komplek. Dinamika plankton
dipengaruhi oleh faktor fisika (suhu, intensitas cahaya), faktor kimia (unsur
hara), dan faktor biologis (kompetisi dan pemangsaan). Menurut Effendi (2003),
organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas bawah dan atas) yang
disukai bagi pertumbuhannya. Dalam
dinamika plankton terdapat beberapa factor seperti, : Suksesi, Daya
Apung (Buoyancy), Blooming BGA (Blue
Green Algae), Pasang Merah (Red tide), Reproduksi dan Siklus Hidup Plankton, dan Distribusi
Spasial dan Temporal.
informatif sekali.
ReplyDelete